Proklamasi   Kemerdekaan, yang kita peringati setiap tanggal 17 Agustus, adalah  sebuah peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia . Proklamasi, telah  mengubah  perjalanan sejarah, membangkitkan rakyat dalam semangat  kebebasan. Merdeka dari segala bentuk penjajahan.
Bagaimanakah  sesungguhnya, peristiwa yang terjadi 64 tahun yang lalu itu. Mari kita  buka kembali catatan sejarah sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus  1945.
Perdebatan
Proklamasi, ternyata  didahului oleh perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan  tua. Baik golongan tua maupun golongan muda, sesungguhnya sama-sama  menginginkan secepatnya dilakukan Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana  kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai  cara melaksanakan proklamasi  itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan  tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa Indonesia  dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan  Jepang.
Karena itu, untuk  memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang  terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud  membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia  Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan cara itu, pelaksanaan  Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah  Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka  menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan  pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan  kekuatan sendiri. Lepas sama  sekali  dari campur tangan pemerintah  Jepang. Perbedaan pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan  golongan pemuda kepada golongan  tua  yang  mendorong  mereka  melakukan  “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta (lihat  Marwati Djoened  Poesponegoro, ed. 1984:77-81)
Tanggal 15 Agustus  1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta,  tempat  kediaman Bung Karno, berlangsung  perdebatan   serius antara  sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan  sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo  (1978:85-87) sebagai berikut:
” Sekarang  Bung,  sekarang! malam ini  juga  kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh  dengan meyakinkan  Bung Karno bahwa ribuan  pasukan bersenjata sudah  siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita  harus  segera merebut  kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah  siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah  berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika Bung Karno  tidak  mengeluarkan pengumuman pada malam  ini  juga, akan berakibat terjadinya  suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”
Mendengar kata-kata  ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana  sambil  berkata:  ” Ini batang leherku, seretlah saya ke  pojok itu dan  potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”.  Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita  sekarang harus  menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali  menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan  apa  yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan  sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak  memproklamasikan kemerdekaan  itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno  untuk  melakukan hal itu ?”
Namun, para pemuda  terus mendesak; ” apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu  diberikan  kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri  telah  menyerah dan telah  takluk  dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan  rakyat itu sendiri yang memprokla masikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan  kita yang menyata kan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa  ?”. Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan  yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan   kesiapan total tentara  Jepang! Coba, apa yang  bisa  kau perlihatkan  kepada saya ?  Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa  tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ?  Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah  diproklamasikan ?  Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang  atau Sekutu. Coba  bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “.  Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para pemuda, tetap  menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun,  kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah  berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia  tidak  bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh  lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para  tokoh yang hadir pada  waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo,  Iwa Kusumasomantri,  Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian,  Hatta menyampaikan keputusan, bahwa  usul para  pemuda tidak dapat  diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan  timbulnya   banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda   nampak tidak puas. Mereka mengambil  kesimpulan yang  menyimpang;  menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan  kedua  tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Pukul 04.00 dinihari,  tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda  dibawa ke Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung  Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi (1984:60). Bung Karno  marah dan  kecewa, terutama  karena para pemuda tidak mau mendengarkan  pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai  tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung  Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para  pemuda untuk dibawa ke tempat yang  mereka tentukan. Fatmawati istrinya,  dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut  sertakan.
Rengasdengklok  kota  kecil dekat Karawang  dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan  Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA (Pembela   Tanah Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin  hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping  itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15  km. dari Kedunggede  Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap  setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang  datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno  dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan  mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari  segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil.  Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang  membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap  keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak  Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah  direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta  tidak  mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada  perhitungan dan  rencana mereka sendiri. Di sebuah  pondok  bambu  berbentuk panggung  di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu  terjadi perdebatan panas; ” Revolusi berada di tangan kami sekarang dan  kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini,  lalu …”. ” Lalu apa ?” teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya,  dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun  yang bergerak atau berbicara.
Waktu suasana tenang  kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai  berbicara; ” Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah  saatnya yang  tepat. Di  Saigon, saya sudah merencanakan seluruh  pekerjaan  ini untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil  tanggal 17, mengapa  tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya  Sukarni. ” Saya seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat  menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi  harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu  adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita  sedang  berada  dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua  berpuasa,  ini berarti saat yang paling suci  bagi kita. tanggal 17 besok hari  Jumat, hari Jumat itu  Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat  suci.  Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh  karena itu  kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “. Demikianlah  antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di  Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi (1984:61).
Sementara itu, di  Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari  golongan muda membicarakan kemerdekaan yang   harus dilaksanakan  di  Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan  mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf  Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama  sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput  Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput  tiba di Rengasdengklok sekitar  pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi  Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945,  selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA  setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta  kembali  ke Jakarta (Marwati Djoened Poesponegoro,  ed. 1984:82-83).
Merumuskan Teks  Proklamasi
Rombongan  Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju  rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih  dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah  Laksamada  Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi  karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung  Karno  dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo  (1978:60-61) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda  tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena  perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.
Sebagai seorang  perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari  rata-rata seorang perwira Angkatan   Darat , ia mempunyai pandangan yang  lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang agak sempit  pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat  yang bertanggungjawab atas Bukanfu di Batavia;  kantor pembelian  Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi diri hanya pada  tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya dapat  terbiasa dengan  suasana di   Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di  tempat yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo.  Melalui  kantor inilah, yang menuntut biaya yang tidak  sedikit   baginya,  ia  mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa  lebih baik dari yang didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan  Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk mendirikan  asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia .  Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru untuk  mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal  dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia berhasil  mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa  keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan  kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan  kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting  bagi masa depan bangsanya.
Malam itu, dari rumah  Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui  Somobuco (kepala  pemerintahan umum), Mayor Jenderal Nishimura, untuk  menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan.  Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah  menyatakan menyerah  kepada Sekutu,  maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak  diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang diharuskan  tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis  kebi  jakan  itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta  mengadakan rapat PPKI dalam  rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde  kaan. Melihat kenyataan ini,  Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk  membicara kan soal kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya   berharap agar pihak Jepang  tidak menghalang-ha  langi pelaksanaan   proklamasi kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri (Hatta,  1970:54-55).
Setelah pertemuan itu,  Soekarno dan Hatta  kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan  rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda,  sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya di  lantai dua  ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan  Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno,  Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi. Sedangkan   tokoh-tokoh lainnya,  baik  dari golongan tua maupun  dari  golongan  pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut Soebardjo  (1978:109) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam,   rumusan  teks Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun.  Soekarno menuliskan  konsep proklamasi pada secarik kertas. Hatta dan  Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama  dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari  rumusan   Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan  sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama  hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia untuk  menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan  pernyataan mengenai pengalihan   kekuasaan  (transfer of sovereignty).  Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah kelompok yang  menyendiri di  ruang  makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi,  kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul  di  ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam menunjukkan  pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan  rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep. Soebardjo  (1978:109-110) melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara teks  Proklamasi ditik, kami  menggunakan kesempatan  untuk mengambil makanan  dan minuman dari ruang  dapur, yang telah disiapkan sebelumnya  oleh  tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas.  Kami  belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu  adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur,  makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali  teks yang telah  ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar di bagian  depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam ruangan.  Saya  bercampur dengan  beberapa anggota Panitia di tengah-tengah  ruangan. Sukarni berdiri  di samping  saya. Hatta berdiri mendampingi  Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi  tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka  pertemuan dini hari  itu dengan beberapa  patah kata.
“Keadaan yang mendesak  telah memaksa  kita  semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi  Kemerdekaan. Rancangan teks telah  siap  dibacakan  di hadapan  saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara sekalian  dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan  pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing”. Kepada mereka yang hadir,  Soekarno menyarankan agar bersama-sama  menandatangani  naskah  proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia . Saran itu diperkuat  oleh Mohammad  Hatta dengan mengambil contoh pada “Declaration of  Independence ” Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda  yang  tidak  setuju  kalau tokoh-tokoh  golongan tua yang  disebutnya   “budak-budak Jepang” turut menandatangani naskah proklamasi. Sukarni  mengusulkan agar penandatangan naskah  proklamasi  itu cukup dua orang  saja, yakni Soekarno dan Mohammad  Hatta atas  nama bangsa Indonesia .  Usul Sukarni itu  diterima oleh hadirin.
Naskah  yang sudah   diketik oleh Sajuti Melik,  segera ditandatangani oleh Soekarno dan  Mohammad Hatta. Persoalan  timbul mengenai  bagaimana Proklamasi itu  harus diumumkan  kepada  rakyat  di seluruh Indonesia ,  dan juga ke  seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus  diselenggarakan? Menurut  Soebardjo (1978:113), Sukarni kemudian  memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan  untuk datang berbondong-bondong  ke lapangan IKADA pada  tanggal 17  Agustus  untuk mendengarkan Proklamasi  Kemerdekaan. Akan tetapi   Soekarno  menolak saran Sukarni. ” Tidak ,” kata Soekarno, ” lebih  baik  dilakukan  di tempat kediaman saya di Pegangsaan  Timur. Pekarangan   di  depan  rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus  memancing-mancing  insiden ? Lapangan  IKADA adalah lapangan umum. Suatu  rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer,  mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan  kekerasan antara  rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut,  mungkin akan  terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk  hadir di Pegangsaan  Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi .” Demikianlah  keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi
Hari  Jumat di bulan  Ramadhan, pukul  05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk  timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin  bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan  diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari.  Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan  kemerdekaan bangsa  Indonesia hari  itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56  Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para   pemuda  yang bekerja pada pers dan  kantor-kantor berita, untuk  memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia  (Hatta, 1970:53).
Menjelang pelaksanaan  Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup  sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada  Mr. Wilopo untuk  mempersiapkan peralatan yang diperlukan  seperti mikrofon dan beberapa  pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S.  Suhud untuk  mempersiapkan  satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud  tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang  bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang  bambu yang berada di  belakang rumah. Bambu  itu dibersihkan dan diberi   tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera   yang dijahit  dengan  tangan oleh Nyonya  Fatmawati  Soekarno sudah  disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak  standar, karena kainnya  berukuran tidak  sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan  untuk bendera.
Sementara  itu, rakyat  yang telah mengetahui  akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah  berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan  rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang  tampak gelisah, khawatir  akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi,  Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang  sakit,   malamnya panas dingin terus  menerus  dan baru  tidur  setelah selesai  merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak  berdatangan,  rakyat yang telah menunggu  sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka   yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera  dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk  segera membacakan  teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau  membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit  sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih   dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan  Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu  berpakaian.  Ia  juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya  menuju tempat upacara.
Marwati Djoened  Poesponegoro (1984:92-94) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi  itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief  Hendraningrat, salah  seorang  anggota  PETA, segera memberi aba-aba  kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu  sejak pagi untuk  berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief  kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta  maju beberapa   langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno  mengucapkan pidato pendahuluan singkat  sebelum membacakan teks  proklamasi.
“Saudara-saudara  sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan  suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun  kita bangsa Indonesia  telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita.  Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai  kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa  kita tetap  menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk  mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman  Jepang ini  tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada  mereka. Tetapi pada  hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya  pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar  mengambil  nasib bangsa dan nasib tanah air  kita  di dalam tangan kita  sendiri. Hanya bangsa yang  berani mengambil nasib dalam tangan   sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah  mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh  Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata  berpendapat,  bahwa  sekaranglah  datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara!  Dengan ini kami menyatakan kebulatan  tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi  kami: PROKLAMASI; Kami  bangsa Indonesia dengan ini menyatakan  Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal  yang mengenai pemindahan kekuasaan dan  lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang  sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa  Indonesia Soekarno/Hatta.
Demikianlah  saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan  lagi  yang mengikat tanah air kita dan  bangsa  kita! Mulai saat  ini  kita menyusun  Negara  kita!  Negara Merdeka.  Negara Republik  Indonesia  merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati  kemerdekaan kita itu”. (Koesnodiprojo, 1951).
Acara, dilanjutkan  dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa  langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang  dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk  mengibarkan bendera, dia menolak: ” lebih baik seorang prajurit ,”  katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam  PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud   mengambil bendera dari  atas baki  yang  telah disediakan   dan  mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.
Bendera dinaikkan  perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan  menyanyikan  lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan  lambat sekali,  untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang.  Seusai pengibaran  bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari  Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.
Setelah upacara  pembacaan Proklamasi  Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi (1984:77)  mengemukakan bahwa ada sepasukan  barisan pelopor yang berjumlah kurang   lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki  halaman rumah  Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang  penuh kecewa S.  Brata meminta agar Bung  Karno membacakan  Proklamasi sekali lagi.   Mendengar teriakan itu Bung  Karno tidak  sampai  hati,  ia  keluar   dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi  hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar   keterangan itu  Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno  memberi  amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai   upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota Barisan  Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
Tidak lama setelah  Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang  pembesar Jepang. Mereka diperintahkan  menunggu di ruang belakang,  tanpa  diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk apa mereka  datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya. Bung Karno  sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk, sehingga  terpaksa   berpakaian  lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang dengan  Bung Karno: ” Kami  diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk  melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” Proklamasi sudah saya  ucapkan,” jawab Bung  Karno dengan tenang. ” Sudahkah ?” tanya utusan  Jepang itu keheranan. ” Ya, sudah !” jawab Bung Karno. Di sekeliling   utusan Jepang itu, mata para  pemuda melotot dan tangan mereka sudah  diletakkan di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu,  orang-orang Jepang itu pun segera pamit. Sementara  itu, Latief  Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana  tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan  peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya  tinggal tiga lembar (saat itu belum ada rol film). Sehingga dari seluruh  peristiwa bersejarah  itu, dokumentasinya hanya ada  tiga; yakni  sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran   bendera,  dan  sebagian  foto hadirin yang menyaksikan peristiwa itu.
Penutup
Peristiwa  besar   bersejarah yang  telah mengubah jalan sejarah bangsa Indonesia itu  berlangsung  hanya satu  jam, dengan penuh kehidmatan. Sekalipun sangat  sederhana, namun ia telah membawa perubahan  yang  luar biasa  dalam  perjalanan sejarah bangsa Indonesia . “Gema lonceng kemerdekaan”   terdengar  ke seluruh   pelosok Nusantara dan menyebar ke seantero  dunia. Para  pemuda, mahasiswa,  serta pegawai-pegawai bangsa Indonesia  pada jawatan-jawatan perhubungan yang penting giat bekerja menyiarkan  isi proklamasi itu  ke seluruh pelosok negeri. Para wartawan Indonesia  yang bekerja pada kantor berita Jepang Domei , sekalipun telah disegel  oleh pemerintah  Jepang, mereka berusaha menyebarluaskan gema Proklamasi  itu ke seluruh dunia.
Merdeka Indonesiaku!
Sumber berita  >>> Sekertariat Negara
Prof. Dr. H. Dadan Wildan, M.Hum
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara R.I.




 


 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar